Senin, 12 November 2012

Visi Dalam Mengatasi Masalah Pengelolaan Sampah di Indonesia

VISI DALAM MENGATASI MASALAH PENGELOLAAN SAMPAH DI INDONESIA


Salah satu permasalahan lingkungan yang paling dekat dengan kehidupan kita sehari-hari adalah masalah pengelolaan sampah. Permasalahan sampah kini telah berkembang menjadi salah satu masalah publik serius dan sangat penting untuk segera diselesaikan.
            Di Indonesia, produksi sampah yang besar baik dari penduduk maupun sampah dari industri tidak diimbangi dengan pengelolaan sampah yang baik. Sampah-sampah yang dihasilkan tersebut kebanyakan tidak dikelola dengan baik sehingga akibatnya sering kita temui tumpukan sampah yang menggunung di pinggir jalan, mengotori selokan atau saluran air, dan lebih banyak lagi yang mencemari sungai, juga menimbulkan penyakit.
            Sampah-sampah itulah yang menjadi salah satu penyebab terjadinya banjir di kota-kota besar karena menghambat saluran air yang ada sehingga air hujan yang seharusnya bisa ditampung meluap hingga menggenangi jalan raya, hampir di setiap hujan deras.
            Faktor-faktor yang menyebabkan buruknya pengelolaan sampah di Indonesia antara lain karena kurangnya kesadaran masyarakat untuk membuang sampah pada tempatnya. Masyarakat sudah sangat terbiasa membuang sampah-sampahnya ke sungai tanpa peduli bahwa itu akan menimbulkan polusi. Ketidakdisiplinan masyarakat dalam membuang sampah juga seing terjadi di mana saja, seperti di tempat umum atau di jalan raya, seolah-olah masyarakat tidak peduli bahwa perilakunya membuat lingkungan menjadi tidak sedap dipandang. Hal ini sangat berbeda dengan negara-negara lain yang masyarakatnya punya kesadaran tinggi tentang menjaga lingkungannya, sehingga tempat-tempat umum di sana selalu terlihat rapi dan bersih.
            Faktor lainnya adalah kurangnya fasilitas kebersihan yang seharusnya tersedia, misalnya di tempat-tempat umum ataupun di pinggir jalan. Hal ini kemudian menjadi alasan bagi masyarakat untuk membuang sampah sesuka hatinya karena tidak menemukan tempat sampah.
            Kemudian kurangnya peran pemerintah dalam menangani masalah ini juga menjadi salah satu faktor. Sebenarnya pemerintah sudah mempunya aturan tentang pengelolaan sampah, seperti UU No. 18 Tahun 2008 tentang pengelolaan sampah dan Permendagri No 33 Tahun 2010 tentang pengelolaan persampahan. Namun realita yang terjadi aturan-aturan ini tidak banyak merubah keadaan. Pencemaran sungai dan laut akibat sampah, sampah yang berserakan di tempat-tempat umum, dan lain sebagainya sepertinya tidak berkurang.
            Kemampuan Pemerintah dalam menangani sampah masih sangat terbatas. Secara Nasional, dari tahun 2000 sampai 2005, tingkat pelayanan baru mencapai 40 % dari volume sampah yang dihasilkan. Hal ini disebabkan karena jumlah penduduk yang tinggi  menyebabkan semakin tingginya volume sampah yang harus dikelola setiap hari sehingga bertambah sulit karena semakin besar beban yang harus ditangani.
            Sebenarnya masalah sampah adalah masalah semua negara yang ada di dunia, termasuk negara-negara maju. Namun negara-negara maju tersebut telah menemukan terobosan yang tepat dalam mengelola sampah dan masyarakatnya sudah mempunya kesadaran yang tinggi.
            Namun keberhasilan negara maju dalam mengelola sampahnya tidak terjadi begitu saja. Sampai dengan abad ke-17 penduduk Belanda ternyata juga melempar sampah di mana saja sesuka hati. Di abad berikutnya saat sampah mulai menimbulkan penyakit, pemerintah Belanda lalu menyediakan tempat-tempat pembuangan sampah. Di abad ke-19, sampah masih tetap dikumpulkan di tempat tertentu dengan petugas pemerintah daerah yang datang mengambilnya dari rumah-rumah penduduk. Di abad ke-20 sampah yang terkumpul tidak lagi dibiarkan tertimbun sampai membusuk, tapi dibakar. Kondisi pengelolaan sampah di Belanda saat itu kira-kira sama seperti di Indonesia saat ini.[1]
            Begitu juga dengan yang terjadi di Jepang. Sekitar 20 tahun lalu, orang Jepang belum melakukan pemilahan sampah. Di tahun 1960 dan 1970-an, kepedulian orang Jepang pada masalah pembuangan dan pengelolaan sampah masih rendah. Saat-saat itu, Jepang baru bangkit menjadi negara industri, sehingga masalah lingkungan hidup tidak terlalu mereka pedulikan. Akibat tumbuhnya industri tersebut terjadi banyak kasus polusi, pencemaran lingkungan, dan keracunan. Baru pada pertengahan 1970-an mulai bangkit gerakan masyarakat peduli lingkungan atau “chonaikai” di berbagai kota di Jepang. Masyarakat menggalang kesadaran warga tentang cara membuang sampah, dan memilah-milah sampah, sehingga memudahkan dalam pengolahannya dengan menyosialisasikan tema 3R atau Reduce, Reuse, and Recycle.   Meski gerakan peduli lingkungan di masyarakat berkembang pesat, pemerintah Jepang belum memiliki Undang-undang yang mengatur pengolahan sampah karena saat itu urusan lingkungan belum menjadi prioritas. Baru sekitar 20 tahun kemudian, setelah melihat perkembangan yang positif dan dukungan besar dari seluruh masyarakat Jepang, Undang-undang mengenai pengolahan sampah diloloskan Parlemen Jepang Bulan Juni 2000.[2]
            Dalam membuang sampah, masyarakat Jepang selalu memilah sampahnya terlebih dahulu. Pemerintah Kota di sana telah menyiapkan dua buah kantong plastik besar dengan warna berbeda, hijau dan merah. Pada beberapa kategori lainnya, yaitu botol PET, botol beling, kaleng, baterai, barang pecah belah, sampah besar dan elektronik yang masing-masing memiliki cara pengelolaan dan jadwal pembuangan berbeda.
            Selain pengelolaan sampah di rumah, tempat umum seperti supermarket  juga menyediakan kotak-kotak sampah untuk tujuan recycle. Kotak-kotak tersebut disusun berderet berderet di dekat pintu masuk, kotak untuk botol beling, kaleng, botol PET masing-masing disendirikan. Bahkan di beberapa supermarket tersedia untuk kemasan susu dan jus yang terbuat dari kertas. Proses daur ulang itu pun sebagian besar dikelola perusahaan produk yang bersangkutan, dan perusahaan lain atau semacam yayasan untuk menghasilkan produk baru. Hebatnya lagi, informasi tentang siapa yang akan mengelola proses recycle juga tertulis dalam setiap kotak sampah.
            Sementara itu pengelolaan sampah juga ada di stasiun kereta bawah tanah, atau shinkansen, pada saat para penumpang turun dari kereta ada petugas yang berdiri di depan pintu keluar dengan membawa kantong plastik sampah besar siap untuk menampung kotak bento dan botol kopi penumpang.[3]
            Rahasia sukses Jepang dalam mengelola sampahnya ada tiga faktor, yaitu tingginya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah, adanya rasa malu apabila membuang sampah seenaknya, dan yang ketiga adalah adanya edukasi sejak dini bagi anak-anak untuk memilah sampah sebelum dibuang. Awalnya masyarakat Jepang merasa cara ini sangat merepotkan, namun setelah merasakan manfaatnya lambat laun kebiasaan mereka mulai berubah.
            Dalam kaitannya dengan sosiologi, adanya gerakan masyarakat peduli lingkungan di Jepang yang disebut chonaikai merupakan suatu modal sosial. Modal sosial adalah suatu ikatan sosial antar manusia di dalam sebuah masyarakat yang sangat penting untuk membentuk kohesivitas sosial dalam mencapai tujuan masyarakat. Dengan kata lain modal sosial adalah suatu kekuatan untuk mencapai tujuan hidup bersama yang tidak mungkin dicapai secara personal.
            Dalam definisi lain, modal sosial merupakan bagian dari organisasi sosial, seperti kepercayaan, norma, dan jaringan yang dapat meningkatkan efisiensi masyarakat dengan memfasilitasi dengan tindakan-tindakan yang terkoordinasi, atau suatu kemampuan masyarakat untuk bekerja sama demi mencapai tujuan bersama dalam berbagai komunitas. Chonaikai di Jepang ini ternyata mampu menciptakan kesadaran masyarakat, bahkan juga mampu menggerakkan masyarakat untuk ikut aktif mengatasi masalah sampah hingga akhirnya pemerintah Jepang mengesahkan UU tentang pengelolaan sampah.
            Dengan pengalaman seperti itu seharusnya bisa dijadikan pembelajaran bagi bangsa Indonesia. Jepang awalnya juga memiliki pengelolaan sampah yang buruk, namun dengan adanya kesadaran yang tinggi masyarakatnya mulai berubah dan juga adanya dukungan dari pemerintah, bahkan Jepang butuh puluhan tahun agar dapat menyelesaikan masalah sampah dengan baik, tentu Indonesia dalam waktu sepuluh tahun juga bisa meniru Jepang. Selain itu di Indonesia juga telah banyak organisasi sosial yang peduli masalah lingkungan dan secara aktif terus menerus mengedukasi masyarakat agar peduli terhadap masalah lingkungan, baik melalui media massa maupun dengan mengadakan acara-acara bertema lingkungan. Tentunya ini merupakan modal sosial yang kuat di Indonesia.  
            Penyebab masalah persampahan di Indonesia selain dikarenakan belum dijalankannya prinsip 3R, juga karena kurangnya kedisiplinan warga dalam membuang sampah. Orang-orang Indonesia suka sekali membuang sampah sembarangan, meskipun di dekat mereka terdapat tempat sampah sekalipun. Bahkan sungai yang merupakan salah satu sumber daya alam yang harus dilestarikan kini dijadikan tempat sampah, sehingga tidak heran kalau air sungai di Indonesia hampir semuanya sudah terpolusi.
            Negara-negara maju seperti Belanda dan Jepang awalnya juga mengalami masa-masa seperti di Indonesia. Di Indonesia sendiri kampanye lingkungan hidup juga sangat gencar, apalagi kampanye tentang 3R (Reduce, Reuse, Recycle). Kesadaran masyarakat sedikit demi sedikit juga sudah mulai terbangun walau belum terlalu banyak yang melakukan. Ini artinya masih ada harapan bagi Indonesia untuk dapat membangun kesadaran warganya dalam mengelola sampah secara mandiri juga adanya UU dari pemerintah untuk mengatur masalah persampahan, bahkan bila perlu juga adanya sanksi bagi tiap orang yang membuang sampah sembarangan.
            Saya berharap sepuluh tahun mendatang Indonesia juga dapat meniru sistem pengelolaan sampah seperti yang dilakukan Jepang dan memiliki teknologi recylce yang bagus. Selain itu diharapkan juga munculnya kesadaran dan kedisiplinan masyarakat dalam mengelola sampah-sampah itu.  Karena dengan sistem dan teknologi yang canggih tidak akan berguna apabila tidak ada kesadaran dari masyarakat.
            Dalam mengatasi masalah persampahan, tentu bisa ada hal-hal sederhana yang bisa dilakukan oleh kita sendiri dan dapat dimulai saat ini juga.  Hal-hal sederhana itu adalah dengan melakukan pengolahan sampah secara sederhana, yaitu dengan melakukan prinsip 4R (replace, reduce, reuse, dan recyle).
            R pertama adalah replace, yaitu mengganti. Gantilah barang-barang yang kita punya dengan barang yang ramah lingkungan, misalnya menggunakan kantong plastik yang dapat didaur ulang. R kedua adalah reduce, yaitu mengurangi sampah. Mengurangi sampah dapat dilakukan dengan cara membawa tas belanja sendiri untuk mengurangi sampah kantong plastik pembungkus barang belanja, membeli kemasan isi ulang untuk shampoo dan sabun daripada membeli botol baru setiap kali habis.
            R berikutnya adalah reuse, atau menggunakan barang yang masih bisa digunakan. Contohnya adalah dengan memanfaatkan botol-botol bekas untuk wadah, memanfaatkan kantong plastik bekas kemasan belanja untuk pembungkus, dan memanfaatkan pakaian atau kain-kain bekas untuk kerajinan tangan, perangkat pembersih (lap), maupun berbagai keperluan lainnya
            Dan R yang terakhir adalah recycle atau mendaur ulang sampah, contohnya adalah mengumpulkan kertas, majalah, dan koran bekas untuk di daur ulang, mengumpulkan sisa-sisa kaleng atau botol gelas untuk di daur ulang atau
menggunakan berbagai produk kertas maupun barang lainnya hasil daur ulang.
             Selain itu yang terpenting adalah tidak membakar sampah sembarangan karena dapat menyebabkan polusi udara dan bisa saja ada kandungan kimia dalam sampah yang berbahaya jika dibakar.
DAFTAR PUSTAKA
Internet
Anonim. Pengolahan Sampah di Negara-Negara Maju, diakses pada 16 Oktober 2012 dari www.abatasa.com
Herdiawan, Junianto. 2012 Rahasia Sukses Pengolahan Sampah Di Jepang Part 2, diakses pada 16 Oktober 2012 dari www.juniantoherdiawan.com
http://www.walhi.or.id

Ditulis Oleh : vhieyan // 04.18
Kategori:

1 komentar:

  1. Sampah memang merupakan masalah yang cukup pelik di negeri kita ini. Bayangkan saja, di objek wisata semisal Pelabuhan Ratu saja sudah dipenuhi sampah. Seperti yang terungkap di sajian berita http://bit.ly/1ju4NCa . Dikutip dari sumber berita tersebut, Seketaris Dinas Pariwisata, Kebudayaan, Pemuda dan Olahraga Kabupaten Sukabumi, Jujun Junaeni mengaku bahwa sampah tersebut berasal dari sungai2 kecil yang ada di sekitar pantai dan limbah dari masyarakat serta restauran yg ada di bibir pantai. Dalam hal mengatasinya, saya rasa yang diperlukan adalah kedisiplin dan kebersamaan.

    BalasHapus

 

site stats

Buku Tamu

Guest Book x-2share